Menulis adalah permainan yang menyenangkan

Menulis adalah permainan yang menyenangkan
PENA I LOVE U

Jumat, 23 Desember 2011

sejarah tasawuf abad V



Pendahuluan


Pada mulanya, tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna intuisi-intuisi Islam. Sejak zaman Sahabat dan Tabi’in, kecenderungan pandangan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam yang mereka pandang dari dua aspek yakni aspek lahiriah dan aspek batiniah. Pendalaman dan pengalaman aspek spiritual mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek lahiriahnya yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek batiniah, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mengutamakan keagungan Tuhan dan bebas dari egoisme.[1]
Sejarah perkembangan abad pertama dan kedua hijriyah yang banyak dikenal dengan zuhud atau fase asketisme. Sikap asketisme dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini, banyak orang yang memusatkan  dirinya pada ibadah. Mereka tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal  untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akherat sehingga mereka menjadi zahid. Tokoh yang populer adalah Hasan Al-Basri dan Rabi’ah  Al-Adawiyah.[2]
Pada abad ketiga hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian pada hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan tasawuf pada masa ini sebagai upaya menegakkan moral di tengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang ketika itu, sehingga di tangan mereka tasawuf berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Tasawuf pada masa ini berintikan tiga ilmu yaitu ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan ilmu metafisika. Bersifat metafisika karena terkandung ajaran yang melukiskan hakikat.[3]
Abad ke empat hijriyah tasawuf telah bersinggungan dengan filsafat sehingga coraknya sudah berbeda. Adanya tarekat, hakekat, dan ma’rifat adalah buah dari bertemu dua ilmu tersebut. Di masa ini banyak bermunculan tasawuf yang menyimpang dari syari’at. Sehingga pada abad ke lima hijriyah mulai muncullah tokoh-tokoh sufi yang ingin mengembalikan tasawuf ke hukum al-Qur’an dan as-Sunnah yang dipelopori al-Ghazali.

 

Pembahasan


A.      Sejarah Tasawuf Abad V Hijriyah

Pada beberapa sufi, upaya pembangunan mental-spiritual dalam rangka mendekatkan diri dan bahkan kalau mungkin “bersatu” dengan Tuhan dilakukan dengan cara-cara yang boleh dikatakan anti sosial. Mereka menempuh jalan sufi dengan cara uzlah (menyendiri) dari kehidupan sosial. Mereka bersemedi pada suatu tempat tertentu, sehingga ruhani mereka tidak tercemar oleh hiruk-pikuk persoalan duniawi yang dapat mengotorkan hati. Gejala ini nampak pada sufi abad I dan II Hijriyah, sebagian sufi abad III dan IV Hijriyah (Asmaran, 1994, 249).[4]
Pada abad I dan II Hijriyah para sufi menempuh jalah zuhd (menjauhi hidup duniawi) untuk mencapai kebersihan ruhani. Sementara pada abad III dan IV Hijriyah, berkembang dua kelompok sufi. Pertama, kelompok yang berfaham moderat, yang ajaran mereka selalu merujuk pada Al-Qur’an dan hadits. Mereka sangat menekankan pentingnya moralitas. Kedua, kelompok yang menekankan faham fana (hilang dalam Tuhan). Kelompok kedua inilah yang mempunyai kecenderungan anti sosial. Beberapa literatur mengilustrasikan, anti sosial dalam tasawuf nyata-nyata telah memposisikan peradaban Islam berada di belakang peradaban Barat. Akibatnya, muncul kesadaran sosial baru dalam tasawuf. Hal tersebut nampak pada perkembangan tasawuf abad V hijriyah dan seterusnya, dengan munculnya tasawuf Suni, tasawuf yang menyandarkan diri pada Al-Qur’an dan Hadits. (Maududi, 1983, 89).[5]
Tasawuf pada abad V disebut juga tasawuf sunni. Disebut demikian karena tasawuf ini didasarkan pada Sunnah Rasulullah dan para sahabat. Pada abad ini muncullah Imam al-Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah serta tujuan asketisme (zuhd), kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali-lah yang berhasil memancangkanprinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring  dengan aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Bustami, terutama mengenai soal karakter manusia.[6]
Tasawuf pada abad kelima Hijriyah cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya ke landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qusyairi  dan Al-Harawi dipandang sebagai tokoh sufi yang paling menonjol pada abad ini yang memberi bentuk tasawuf sunni. Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah memperlihatkan dengan jelas bagaimana Al-Qusyairi mengembalikan tasawuf ke atasan landasan doktrin Ahlussunnah. Dalam penilainnya, ia menegaskan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina prinsip-prinsip tasawuf atasalandasan-landasan tauhid kaum salaf maupun Ahlussunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara implinsit menolak para sufi yang mengajarkan syahadat, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan khususnya sifat baharunya.
Tokoh lainnya yang seirama dengan Al-Qusyairi adalah Abu Isma’il Al-Anshari, yang sering disebut dengan Al-Harawi. Ia mendsarkan tasawufnya pada doktrin Ahlussunnah. Ia bahkan dipandang sebagai penggagas aliran pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya seperti Abu Yazid Al-Bustami dan Al-Hallaj.
Dengan demikian, abad kelima Hijriyah merupakan tonggak yang menentukan bagi kejayaan tasawuf salafi (akhlak). Pada abad tersebut, tasawuf salafi tersebar luas di kalangan dunia Islam. Fondasinya begitu dalam terpancang untuk jangka lama pada berbagai lapisan masyarakat Islam.[7]

B.      Corak dan karakteristik Tasawuf Abad V Hijriyah

Tasawuf yang berkembang pasda abad V yang disebut juga dengan tasawuf Sunni atau tasawuf Ahlaqi. Tasawuf akhlaqi memiliki corak dan karakteristik sebagai berikut :
1.      Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tasawuf jenis ini, dalam mengejawantahkan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan Qur’ani dan Hadis sebagai kerangka pendekatannya. Mereka tidak mau menerjunkan pahamnya dalam konteks yang berada di luar pembahasan Al-Qur’an danHadis. Al-Qur’an dan Hadis yang mereka pahami, kalaupun harus ada penafsiran. Maka penafsiran itu sifatnya hanya sekedarnya dan tidak begitu mendalam.
2.      Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada uangkapan-ungkapan syahadat.
3.      Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksutkan di sini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berada diantara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dengan Tuhan.
4.      Kesinambungan antara hakikat dengan syariat. Dalam pengertian lebih khusus, keterkaitan antara tasawuf sebagai aspek batiniyah dengan fiqh sebagai aspek lahirnya. Kaum sufi dari kalangan Sunni tetap memandang penting persoalan-persoalan lahiriah-formal, seperti aturan-aturan yang dianut fuqaha. Aturan-aturan itu bahkan sering dianggap sebagai jembatan untuk berhubungan dengan Tuhan.
5.      Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.[8]
Sedangkan  tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang ajaran – ajarannya
memadukan antara visi mistik dan visi rasional sebagai pengasasnya. Ibnu Khaldun dalam karyanya Al-Muqaddimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, antara lain :
1.      Latihan rohaniah dengan rasa, instiusi serta intropeksi diri yang timbul darinya.
2.      Iluminasi atau hakekat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat – sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat dll.
3.      Peristiwa – peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
4.      Penciptaan ungkapan – ungkapan yang pengertiannya sepintas samar – samar (syatahiyyat).[9]

C.       Tasawuf al-Qusyairy ( 376 – 465 H )

a.      Biografi Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin, lahir tahun 376 H. Di Istiwa, kawasan Nishafur, salah atu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah ia bertemu dengan gurunya Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu menghadiri majelis gurunya, dan dari gurunya itulah  Al-Qusyairi menempuh jalan tasawuf. Sang guru pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu, Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqh dari seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi, dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr Al-Farauk. Menurut Ibnu Khallikan, Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu mengompromikan syariat dengan hakikat.[10]
b.      Ajaran-ajaran Tasawuf
1.      Mengembalikan tasawuf ke landasan Ahlussunnah
Seandainya karya Al-Qusairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam akan tampak al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah, sebagaimana pernyataan, “Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah mereka dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu sunnah, yang tidak tertandingi serta tidak kenal macet. Merekapun tahu hak yang lama dan bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu tokoh aliran ini al-Junaid, berkata; Tauhid adalah pemisah hal yang lama dari hal yang baru. Landasan doktrin mereka didasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan ini seperti dikatakan Abu Muhammad al-Jariri: Barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang kehancurannya.[11]
Ungkapan Al-Qusyairi yang mengkritik para sufi syathahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan dengan sifat-sifat kemanusian dengan kritikan pedas yaitu “Mereka mengatakan bahwa mereka telah bebas dari perbudakan berbagai belenggu dan berhasil mencapai realitas-realitas rasa penyatuan dengan Tuhan (wushul) lebih jauh lagi mereka tegak bersama yang Maha Besar, yang hukum-hukumnya berlaku atas diri sendiri, sedang mereka dalam keadaan fana. Allah pun menurut mereka tidak mencela dan melarang apa yang mereka nyatakan ataupun yang mereka lakukan. Dan kepadaku mereka disingkapkan rahasia ke-Esaan dan setelah fana merekapun tetap memperoleh cahaya Ketuhanan, tempat bergantung segala sesuatu”.[12]
2.      Kesehatan Batin
Selain itu Al-Qusyairi menekankan bahwa kesehatan bathin dengan berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As sunnah sebagai mana perkataannya:
Duhai saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada sufi sejamannya) sebab ketika reutas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian….. Setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun sikap menjauhkan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri dan setiap bathin yang bertentangan dengan lahir adalah keliru dan bukannya yang bathin,…… dan setiap tauhid yang dibenarkan Al-Qur'an maupun as-sunnah adalah pengingkaran terhadap Tuhan dan bukan tauhid; dan setiap pengenalan terhadap Allah yang tidak dibarengi kerendahan maupun ketulusan jiwa adalah palsu dan bukan pengenalan terhadap Allah.”[13]
3.      Penyimpangan Para Sufi
Dalam hal yang berbeda, Al-Qusyairi mengemukakan suatu penyimpangan lain dari para sufi abad ke lima hijriyah dengan ungkapan yang pedas.
Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal di kelompok tersebut kecuali bekas-bekas mereka kemah dan hanya serupa kemah mereka, kaum wanitanya itu, kulihat bukan mereka. Zaman telah berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka, tidak banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah kini kerendahatian dan punahlah kesederhanaan hidup. Ketamakan semakin menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah sudah kehormatan agama dari kalbu. Betapa sedikit orang yang berpegang teguh pada agama. Banyak orang yang menolak membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan sikap menghormati orang lain dan membuang jauh rasa malu. Bahkan mereka menganggap remeh pelaksanaan ibadah, melecehkan puasa dan sholat, dan terbuai dalam medan kemabukan dan jatuh dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak peduli melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan....”[14]
Pendapat Al-Qusyairi di atas barangkali terlalu berlebihan. Namun apapun masalahnya, paling tidak, bahwa itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi moral-moral dan tingkah laku.
Dalam hal ini, jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang berafiliasi pada aliran yang sama, yaitu Al-Asyi’ariyah, yang nanti akan merujuk pada gagasannya itu serta menempuh jalan yang dilalui  Al-Muhasibi maupun Al-Junaid, serta melancarkan kritik keras terhadap para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang ganjil.[15]

D.      Tasawuf al-Ghazali ( 450 – 505 H )

Di sebut Masa Konsolidasi karena abad 5 H terjadi pertentangan antara tasawuf  semi falsafi dan tasawuf Suni. Dimenangkan tasawuf sunni, tasawuf falsafi tenggelam kemudian muncul lagi abad 6H.Tasawuf Al Ghazali yang berdasarkan  ahlu sunnah wal jamaah demikian populernya  sehingga memperngaruhi  filosof islam Syiah, ikhwanu sofa dsb. Ajaran tasawuf al Ghazali ini mengutamakan pendidikan moral (tasawuf akhlaki) hal ini dapat disimak dalam kitab ihya ulumuddin.
a.      Biografi singkat
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad  bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H./1058 M, tiga tahun setelah Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.[16]
Seorang filosof, teolog, ahli hukum dan  Sufi. Al Ghazali adalah arsitek perkembangan Islam di masa belakangan. Kitab karangan beliau banyak populer di Indonesia, diantaranya adalah : Ihya Ulum al Din ( Menghidupkan kembali ilmu-ilmu Agama), Al Munqid min Al Dzalal (Penyelamat dari kesesatan), karya beliau lebih dari 70 kitab. Dalam kitab Tahafut al Falasifah  (Sanggahan terhadap pemikiran kaum filsosof), Ghazali menyangkal filosof yang mendasarkan pada pemikiran pribadi dalam rangka menjelaskan kebenaran, dan ia berusaha mengembalikan filsafat dalam koridor teologi. Sepeninggal Al Ghazali perselisihan pandangan semenjak wafat Nabi Muhammad SAW agak berkurang, menjadi kesatuan atas dasar keberagaman.[17]

b.      Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.[18]
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat karena dianggapnya mempunyai duakelemahan. Pertama, kurang memerhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Kedua, syathahat merupakan hasil pemikiran  yang kacau dan hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian, ia menolak tasawuf semi filsafat meskipun ia mau memaafkan Alk-Hallaj dan Yazid Al-Bustami. Ungkapan-ungkapan yang ganjil itu telah menyebabkan orang-orang Nasrani keliru dalam menilai Tuhannya, seakan-akan Ia berada pada diri Al-Masih.[19]
1.      Makrifat
Al-Ghazali sama sekali menolak paham Hulul dan Ittihad. Untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat. Yakni, pendekatan diri kepada Allah tanpa diikutipenyatuan dengan-Nya. Jalan ma’rifat adalah adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil nebdiskripsikan jalan menuju Allah.SWT. Ma’rifat menurut  versi Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian dalam tingkatan-tingkatan ( maqamat ) dan keadaan ( ahwal ).
Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah orang yang mampu memadukan diantara ketiga kubu keilmuan Islam, takni tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam yang sebelumnya terjadi ketegangan diantara ketiganya.[20]
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sirr, qolb dan roh. Pada saat sirr, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.[21]

2.      As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatan qalb sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati. Sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Sebab qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.[22]



















 

Penutup

Kesimpulan

Tasawuf pada abad V disebut juga tasawuf sunni. Disebut demikian karena tasawuf ini didasarkan pada Sunnah Rasulullah dan para sahabat. Pada abad ini muncullah Imam al-Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah serta tujuan asketisme (zuhd), kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali-lah yang berhasil memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring  dengan aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Bustami, terutama mengenai soal karakter manusia.
Al-Ghazali, Seorang filosof, teolog, ahli hukum dan  Sufi. Al Ghazali adalah arsitek perkembangan Islam di masa belakangan. Kitab karangan beliau banyak populer di Indonesia, diantaranya adalah : Ihya Ulum al Din ( Menghidupkan kembali ilmu-ilmu Agama), Al Munqid min Al Dzalal (Penyelamat dari kesesatan), karya beliau lebih dari 70 kitab. Dalam kitab Tahafut al Falasifah  (Sanggahan terhadap pemikiran kaum filsosof), Ghazali menyangkal filosof yang mendasarkan pada pemikiran pribadi dalam rangka menjelaskan kebenaran, dan ia berusaha mengembalikan filsafat dalam koridor teologi. Sepeninggal Al Ghazali perselisihan pandangan semenjak wafat Nabi Muhammad SAW agak berkurang, menjadi kesatuan atas dasar keberagaman.
Corak dan karakteristik Tasawuf Abad V Hijriyah: Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada uangkapan-ungkapan syahadat, lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia, Kesinambungan antara hakikat dengan syariat, Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.





Daftar pustaka



Sholikin dan Anwar Rosihon. 2008. Ilmu tasawuf:Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS. Bandung : CV.Pustaka Setia.
www.eksistensi-manusia-dalam-perspektif-tasawuf.com 18 Nop 2011




[1] Sholikin dan Anwar Rosihon. Ilmu tasawuf:Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS. ( Bandung : CV.Pustaka Setia,2008), hal. 62.
[2] Ibid. Hal,62.
[3] Ibid. Hal,62-64.
[5] Ibid.hal,61.
[6] Sholikin dan Anwar Rosihon. Op. Cit. Hal,65-66.
[7] Ibid. Hal, 66.
[8] Ibid. Hal, 120-122.
[10] Ibid. Hal, 130-131.
[11] Ibid. Hal, 131-132.
[12] Ibid. Hal, 132
[13] Ibid. Hal, 133.
[14] Ibid. Hal, 133-134.
[15] Ibid. Hal, 135.
[16]  Ibid. Hal, 135.
[18] Sholikin dan Anwar Rosihon. Op. Cit. Hal,140.
[19]Ibid. Hal,141.
[20]  Ibid. Hal, 142.
[22] Sholikin dan Anwar Rosihon. Op. Cit. Hal  ha, 143.

Senin, 04 Juli 2011

ilmu kalam masa kini

Sejarah ilmu kalam yang lahir karena terbunuhnya Khalifah Usman Bin Affan menjadi pintu awal keberangkatan dan perkembangan ilmu kalam.Pemikiran yang lahir akibat sebuah perbedaan penafsiran mengenai ketuhanan dan permasalahan tentang dosa besar.Pemikir-pemikir kalam telah ada sejak permulaan perkembangan ilmu kalam.Pemikir-pemikir kalam itu dibedakan menjadi dua kelompok dari sisi kerangka berpikir mereka.Kerangka berpikir tradisional dan kerangka berpikir rasional.Kerangka berpikir tradisional yakni sebuah kerangka berpikir yang menempatkan wahyu di atas akal manusia.Mereka berpikir bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diyakini kebenaran dan tugas akal hanya membenarkannya saja tanpa berusaha memahami sebuah wahyu melalui akal.Ini dilakukan karena mereka ingin menjaga kemurniaan ajaran agama namun ini juga perbuatan yang dapat mematikan peran akal manusia.
Sedangkan pemikiran rasional adalah pemikiran dimana akal sangat berperan aktif.Bahkan karena tingginya kedudukan akal, kebenaran wahyu menempati kedudukan kedua setelah akal.Namun di antara kedua kerangka berpikir ini terdapat kerangka berpikir moderat yaitu menggunakan akal untuk memahami dan menjelaskan wahyu namun kebenaran wahyu adalah yang paling utama.Apabila peran akal sudah terlalu jauh hingga tidak sesuai dengan wahyu maka segera mengembalikan kepada kebenaran wahyu.
Perkembangan hingga kini muncul para mutakkalimin-mutakallimin seperti Ismail Faruqi,Hasan Hanafi,Rasyidi, dan Harun Nasution.Yang sebelumnya telah didahului oleh mutakkalimin-mutakkalimin modern seperti Syekh Muhammad Abduh,Sayyid Ahmad Khan, dan Muhammad Iqbal.
Ajaran Islam, yang kristalnya berupa Al-qur’an dan sunnah Nabi, diyakini oleh umat Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh kurun zaman. Islam itu satu. Tetapi realita berbicara bahwa tampilan Islam itu beragam, boleh jadi, karena lokasi penampilannya mempunyai budaya yang beragam, tetapi boleh jadi juga, kurun jaman telah membawa budaya dan teknologi yang berbeda-beda.Tidak terelakkan, saling berebut benar antara sesama Muslim terjadi dimana-mana dalam rangka menampilkan Islam. Tampaknya, pemahaman itu utuh, pesan ketuhanan dapat ditangkap, fanatic buta dapat diredam, sejarah tampilan ajaran Islam dari waktu ke waktu perlu dicermati. Dengan cara ini proses terselengaranya syariat Islam di masa Nabi dan generasai-generasi berikutnya dapat dipahami. Alasan kebijakan para tokoh Islam untuk maksud ini pun dapat dimengerti.

Pembahasan

Para mutakkalimin-mutakkalimin masa kini terdiri dari empat pemikir yaitu,Ismail Faruqi,Hasan Hanafi,H.M. Rasyidi,dan Harun Nasution.Penjelasannya sebagai berikut.

A.    Ismail Faruqi

a.      Riwayat Singkat Ismail Al-Faruqi

Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pada tahun 1926-1936 bersekolah di Colleges des Freres St. Joseph,dengan bahasa pengantar perancis yang terletak di Libanon. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut.Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945,ketika berusia 24 tahun.Dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat.
Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard.Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952.Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Seirkat. Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat.
Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme.Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi.
Di bebrbagai Universitas di AS,menyebutnya sebagai “Sarjana muslim pertama yang mendedikasikan sepanjang hayatnya pada studi-studi Islam di AS dan menjadikan AS sebagai kediaman terakhirnya”Bahkan beliau sempat membentuk kelompok  kajian Islam American Academy of Religion dan mengetuai komite pengarahnya selama beberapa tahun.Disamping seorang sarjana,aktifis,dan pemimpin yang berdedikasi diri pada pembaharuan dan reformasi.Dia juga seorang penulis.Menulis lebih dari 100 lebih artikel di berbagai jurnal ilmiah,dan mengarang 25 judul buku[1].
Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.

b.      Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi

Pemikiran Al-Faruqi tentang kalam dapat ditelusuri  melaluikaryanya yang berjudul  Tauhid: Its Implications for Thought and Life.Sesuai dengan judulnya,Al-Faruqi mengupas tentang hakikat tauhid secara mendalam sebagai berikut.

1         Tauhid sebagai pengalaman agama

Inti pengalaman agama adalah Tuhan.Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan,tindakan,dan pemikiran setiap muslim.Kehadiran Tuhan mengisi setiap waktu.Bagi kaum muslim Tuhan benar-benar obsesi yang agung[2].Esensi pengalaman agama dalam Islam tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidak sia-sia[3].

2        Tauhid sebagai pandangan dunia

Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang, waktu,sejarah manusia dan takdir.

3        Tauhid sebagai inti sari Islam

Peradapan Islam adalah Islam itu sendiri.Dan Esensi Islam adalah tauhid atau mengesakan Tuhan.Tanpa Tauhid ,Islam tidak akan ada.Tanpa Tauhid,bukan hanya sunnah Nabi yang patut diragukan,bahkan kenabianpun menjadi sirna[4].

4         Tauhid sebagai prinsip sejarah

Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika atau bertindak,yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu[5].

5        Tauhid sebagai prinsip pengetahuan

Iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran,bukan kepada perasaan  manusia yang mudah mempercayai apa saja.Kebenaran proposisi iman bukanlah misteri,hal yang sulit dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal,melainkan bersifat kritis dan rasional.Kebenaran-kebenaran telah dihadapkan pada ujian keragu-raguan dan lulus dalam keadaan utuh dan ditetapkan sebagai kebenaran[6].

6        Tauhid sebagai prinsip metafisika

Dalam Islam,alam adalah ciptaan dan anugerah.Sebagai ciptaan,ia bersifat teleologis,sempurna, dan teratur.Sebagai anugerah ,ia merupakan kebaikan yang tak mengandung  dosa yang disediakan untuk manusia.Tujuannya adalah memungkinkan manusia melakukan kebaikan untuk mencapai kebahagiaan.Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan ,dan kebaikan, menjadi ciri dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam[7].

7        Tauhid sebagai prinsip etika

Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia,suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi.Amanat yang mereka hindari dengan penuh ketakutan.Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi,yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan,dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu melaksanakannya.Dalam Islam,etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya[8].

8        Tauhid sebagai prinsip tata sosial

Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya,baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi(dzimmah)[9]

9        Tauhid sebagai Ummah

Terdiri dari tiga identitas yaitu,
1        Etnosentrisme.Maksutnya tata sosial Islam adalah universal,mencakup seluruh umat tanpa terkecuali,tidak hanya untuk segelintir etnis.
2        Universalisme.Cita-cita Islam  adalah cita-cita universal.
3        Totalisme.Islam relevan setiap bidang kegiatan hidup manusia.Totalisme tata sosial Islam tidak hanya menyangkut aktifitas manusia dan tujuan nya di masa mereka saja,tetapi mencakup seluruh aktifitas di setiap masa dan tempat
4         Kemerdekaan.Tata sosial Islam dibangu  di atas kemerdekaan .Jika dibangu di atas kekerasan tau dengan memaksa rakyat,Islam akan kehilangan sifatnya yang khas[10].

10    Tauhid sebagai Prinsip Keluarga

Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar untuk tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisasi oleh hubungan erat dengan Tauhid.

11    Tauhid sebagai Prinsip tata Politik

Ta politik ketauhidan dengan kekhalifahan.Kekhalifahan didefinisikan menjadi tiga dimensi yakni,kesepakatan wawasan(pengetahuan tentang nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi), Kehendak(kepedulian  dan kepatuhan), dan tindakan(pelaksanaan kewajiban yang timbul  dari kesepakatan[11].

12    Tauhid sebagai Prinsip tata ekonomi

Dua prinsip tata ekonomi Islam.Pertama,tidak boleh ada pemerasan.Kedua,tidak boleh satu kelompok mengasingkan atau memisahkan diri dari umat dengan tujuan membatasi kondisi ekonomi mereka.

13    Tauhid sebagai prinsip estetika

Tauhid tidak menentang kreatifitas seni,kenikmatan, dan keindahan.Sebaliknya, Islam memberkati keindahan.Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya[12].

B.     Hasan Hanafi

a. Riwayat Singkat Hasan Hanafi

Hasan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo.Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948.
Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.Kejadian-kejadian yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis.Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966.
Di waktu-waktu luangnya, Hanafi mengajar di Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Temple, Amerika Serikat.Dari tahun 1980 sampai 1983 ia menjadi profesor tamu di Universitas Tokyo, tahun 1985 di Emirat Arab. Ia pun diminta untuk merancang berdirinya Universitas Fes ketika ia mengajar di sana pada tahun-tahun 1983-1984.
Dia meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne (Perancis) dengan berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode d’ Exegese (Esaitentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya iliniah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.
Di awal periode 1970, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir.

b.Pemikiran Kalam Hasan Hanafi

1.      Kritik terhadap teologi tradisional
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan sesuai dengan konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptual lama pada masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan.
Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik.mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu.Hal ini sesuai dengan pendefinisian beliau tentang definisi teologi itu sendiri.Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-Nya yang berupa wahyu.
Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya dikalangan umat.
2.      Rekontruksi teologi
Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama tradisional telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu :
1.      Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan globalisasi ideologi.
2.      Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya tetapi juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah.
3.      Keperingan teologi yang bersifat praktis yang secara nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu : Pertama, analisis bahasa, hal ini karena bahasa merupakan warisan nenek moyang yang merupakan tradisikhas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Kedua, analisis sosial, hal ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis.Analisis realitas berguna untuk menentukan stressing kearah mana teologi kontemporer harus direalisasikan[13].

C.    H.M Rasyidy

a.Riwayat singkat H.M Rasyidy

H. Mohamad Rasyidi lahir 20 Mei 1915 Kotagede, Yogyakarta.Dan meninggal 30 Januari 2001.Beliau adalah mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Lulusan pendidikan tinggi Islam,Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir tahun 1938 dan mendapatkan gelar doktornya di Universitas Sorbonne, Paris pada tahun 1956. Guru pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur). Pada tahun 1939 sampai dengan 1941 di Surakarta menjadi Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta.
Karya Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya Bulan Bintang tahun 1977, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah tahun 1979. Kebebasan Beragama, Media Dakwah tahun 1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan Bintang tahun 1982.

b.Pemikiran Kalam H.M.Rasyidy

1.      Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu kalam dan teologi.Rasyidy berkata,”...Ada kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi adalah ilmu kalam Kristen[14].”Beliau menelusuri sejarah  kemunculan teologi.Tentang Ilmu kalam, ia membedakannya dengan teologi. Menurutnya teologi berarti ilmu ketuhanan yang kemudian mengandung beberapa aspek ajaran Kristen yang diluar kepercayaan sehingga teologi kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu Kalam.
2.      Tema-tema ilmu kalam
Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik  Rasyidy adalah deskripsi aliran-aliran kalam yang tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang,khususnya di Indonesia.Rasyidy berpendapat bahawa menonjolkan perbedaan pendapat antara Asyi’ariyah dengan Mu’tazilah yang dilakukan Harun Nasution  akan melemahkan iman para mahasiswa.Memang tidak ada agama yang mengagungkan akal seperti Islam,tetapi dengan menggambarkan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk,sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran manusia bersifat absolut-universal berarti meremehkan ayat-ayat al-Qur’an “Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui,sedangkan kamu tidak mengetahui”(Q.S Al-Baqarah:232).Rasydi menegaskan bahwa di Barat saat ini akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk
3.      Hakikat iman
Rasyidi mengkritik  deskripsi iman Nurcholish Madjid,yakni”Percaya dan menaruh kepercayaan terhadap Tuhan.Dan sikap apresiatif kepada Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang.Sikap ini disebut taqwa.Taqwa diperkuat dengan kontak yang kontinue dengan Tuhan.Apreasiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh,sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan[15].Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar bersatunya manusia dengan Tuhan,tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan manusia,yakni hidup dalam masyarakat.Dan bersatunya seseorang dengan Tuhan tidak merupakan aspek yang mudah dicapai,mungkin hanya seorang dari sejuta orang.Jadi ,yang lebih penting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan,ibadah,dan kemasyarakatan[16].

D.    Harun Nasution

a.Riwayat Singkat Harun Nasution

Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tahun 1919. Kemudian bersekolah di HIS (Hollandsche Indlansche School) dan lulus pada tahun 1934. Pada tahun 1937, lulus dari Moderne Islamietische Kweekschool. Ia melanjutkan pendidikan di Aliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Dan pada tahun 1952, meraih gelar sarjana muda di American University of Cairo.
Harun Nasution menjadi pegawai Deplu RI di Brussels dan Kairo pada tahun 1953-1960. Dia meraih gelar doktor di Universitas McGill di Kanada pada tahun 1968. Selanjutnya, pada 1969 menjadi rektor di IAIN Syarif Hidayatullah dan UNJ. Pada tahun 1973, menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah.Hasan Nasution wafat pada tanggal 18 September 1998 di Jakarta.Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang memuji aliran Muktazilah (rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam kehidupan beragama. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim Indonesia berpikir secara rasional.
Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang berpikiran terbuka. Ketika ramai dibicarakan tentang hubungan antar agama pada tahun 1975, Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan pembentukan wadah musyawarah antar agama, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga.Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Harun Nasution antara lain : Akal dan Wahyu dalam Islam (1981),Filsafat Agama (1973),Islam Rasional (1995), Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975).

b.Pemikiran kalam Harun Nasution

a.       Peranan Akal
Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam.Berkenaan dengan akal ini ,Harun menulis demikian”Akal melambangkan kekuatan manusia.Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya.Bertambah tinggi akal manusia,bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahan makhluk lain.Bertambah lemah kekuatan akal manusia ,bertambah rendah pulalah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut[17]
b.      Pembaharuan Teologi
Asumsinya bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam di Indonesia juga di mana saja disebabkan  ada yang salah dalam teologi mereka.Pandangan ini serupa dengan kaum modernis  pendahulunya seperti M.Abduh,Rasyid Ridha,Al-Afghani dan lainnya yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam sejati.Yang bersifat rasional,berwatak free-will,dan mandiri serta lepas dari fatalistik dan irasional.
c.       Hubungan Akaldan Wahyu
Ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan,tetapi keduanya tidak bertentangan.Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an.Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya.Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan[18].
Dalam pemikiran Islam,baik bidang filsafat dan ilmu kalam serta ilmu fiqh,akal tidak perna membatalkan wahyu.Akal tetap tunduk pada teks wahyu.Teks wahyu tetap dianggap benar.Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk  menentang wahyu.Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks  wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi.Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dengan wahyu,tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu juga.Jadi,yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain[19].


Penutup

a)      Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi
Inti pengalaman agama adalah Tuhan.Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan,tindakan,dan pemikiran setiap muslim.Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang, waktu,sejarah manusia dan takdir.Tauhid ummah terdiri dari tiga identitas yaitu Etnosentrisme,Universalisme,Totalisme dan Kemerdekaan.Tauhid tidak menentang kreatifitas seni,kenikmatan, dan keindahan.Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
b)     Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
Hasan mengkritik teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya dikalangan umat.Rekontruksi teologinya adalah kebutuhan ideologi yang jelas,pada sisi teoritisnya tetapi juga kepentingan praktis yang secara nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam.
c)      Pemikiran H.M.Rasyidi
Rasyidi berpandangan bahwa ilmu kalam sama sekali berbeda dengan teologi.Beliau tidak sependapat dengan Harun yang sangat mengagungkan akal yang dapat mengetahui baik dan buruk dilihat dari perkembangan zaman.Tentang iman,Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar bersatunya manusia dengan Tuhan,tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan manusia,yakni hidup dalam masyarakat.Jadi ,yang lebih penting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan,ibadah,dan kemasyarakatan.
d)     Pemikran Harun Nasution
Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Harun memandang perlu pembaharuan teologi untuk kembali kepada teologi Islam sejati.Yang bersifat rasional,berwatak free-will,dan mandiri serta lepas dari fatalistik dan irasional. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dengan wahyu,tetapi penafsiran dari  para ulama.

Daftar Pustaka


Rozak Abdul dan Anwar Rosihon.2001.Ilmu Kalam untuk UIN,STAIN,PTAIS.Bandung : Pustaka Setia.
Http://rumahsugi.blogspot.com/2007/11/ilmu-kalam-masa-kini.html


[1] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar.2001.Ilmu kalam untuk UIN,STAIN,PTAIS.Bandung:PUSTAKA SETIA.Hal,229.
[2] Ismail Raji Al-Faruqi,Tauhid,terj.Rahmani Astuti,Pustaka,1988,hlm.1
[3] Ibid,Hlm.13
[4] Ibid.hlm.16,17,18.
[5] Ibid,hlm.35,37
[6] Ibid,hlm.42
[7] Ibid.hlm.15.
[8] Ibid.hlm.61,64.
[9] Ibid.hlm 102
[10] Ibid.hlm109-112.
[11] Ibid.hlm 149-154.
[12] Ibid.hlm 207.
[13] Ibid.hlm,.50-51.
[14] H.M.Rasjidi,Koreksi terhadap D.R Harun Nasution,tentang”Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya”,Bulan Bintang,1997.
[15] H.M Rasyidi.Koreksi terhadap DR.Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi.Bulan Bintang,Jakarta,1997,hlm.61.
[16] Ibid ,hlm.61
[17] Harun Nasution ,Teologi Islam:Aliran-aliran Sejarah  Analisa Perbandingan,UI Press.Jakarta.1983.hlm.56.
[18] Lihat pada Nasution,op.cit,hlm.150.
[19] Nasution...,op.cit,hlm101-102.