Menulis adalah permainan yang menyenangkan

Menulis adalah permainan yang menyenangkan
PENA I LOVE U

Jumat, 23 Desember 2011

sejarah tasawuf abad V



Pendahuluan


Pada mulanya, tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna intuisi-intuisi Islam. Sejak zaman Sahabat dan Tabi’in, kecenderungan pandangan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam yang mereka pandang dari dua aspek yakni aspek lahiriah dan aspek batiniah. Pendalaman dan pengalaman aspek spiritual mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek lahiriahnya yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek batiniah, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mengutamakan keagungan Tuhan dan bebas dari egoisme.[1]
Sejarah perkembangan abad pertama dan kedua hijriyah yang banyak dikenal dengan zuhud atau fase asketisme. Sikap asketisme dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Pada fase ini, banyak orang yang memusatkan  dirinya pada ibadah. Mereka tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal  untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akherat sehingga mereka menjadi zahid. Tokoh yang populer adalah Hasan Al-Basri dan Rabi’ah  Al-Adawiyah.[2]
Pada abad ketiga hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian pada hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan tasawuf pada masa ini sebagai upaya menegakkan moral di tengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang ketika itu, sehingga di tangan mereka tasawuf berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Tasawuf pada masa ini berintikan tiga ilmu yaitu ilmu jiwa, ilmu akhlak, dan ilmu metafisika. Bersifat metafisika karena terkandung ajaran yang melukiskan hakikat.[3]
Abad ke empat hijriyah tasawuf telah bersinggungan dengan filsafat sehingga coraknya sudah berbeda. Adanya tarekat, hakekat, dan ma’rifat adalah buah dari bertemu dua ilmu tersebut. Di masa ini banyak bermunculan tasawuf yang menyimpang dari syari’at. Sehingga pada abad ke lima hijriyah mulai muncullah tokoh-tokoh sufi yang ingin mengembalikan tasawuf ke hukum al-Qur’an dan as-Sunnah yang dipelopori al-Ghazali.

 

Pembahasan


A.      Sejarah Tasawuf Abad V Hijriyah

Pada beberapa sufi, upaya pembangunan mental-spiritual dalam rangka mendekatkan diri dan bahkan kalau mungkin “bersatu” dengan Tuhan dilakukan dengan cara-cara yang boleh dikatakan anti sosial. Mereka menempuh jalan sufi dengan cara uzlah (menyendiri) dari kehidupan sosial. Mereka bersemedi pada suatu tempat tertentu, sehingga ruhani mereka tidak tercemar oleh hiruk-pikuk persoalan duniawi yang dapat mengotorkan hati. Gejala ini nampak pada sufi abad I dan II Hijriyah, sebagian sufi abad III dan IV Hijriyah (Asmaran, 1994, 249).[4]
Pada abad I dan II Hijriyah para sufi menempuh jalah zuhd (menjauhi hidup duniawi) untuk mencapai kebersihan ruhani. Sementara pada abad III dan IV Hijriyah, berkembang dua kelompok sufi. Pertama, kelompok yang berfaham moderat, yang ajaran mereka selalu merujuk pada Al-Qur’an dan hadits. Mereka sangat menekankan pentingnya moralitas. Kedua, kelompok yang menekankan faham fana (hilang dalam Tuhan). Kelompok kedua inilah yang mempunyai kecenderungan anti sosial. Beberapa literatur mengilustrasikan, anti sosial dalam tasawuf nyata-nyata telah memposisikan peradaban Islam berada di belakang peradaban Barat. Akibatnya, muncul kesadaran sosial baru dalam tasawuf. Hal tersebut nampak pada perkembangan tasawuf abad V hijriyah dan seterusnya, dengan munculnya tasawuf Suni, tasawuf yang menyandarkan diri pada Al-Qur’an dan Hadits. (Maududi, 1983, 89).[5]
Tasawuf pada abad V disebut juga tasawuf sunni. Disebut demikian karena tasawuf ini didasarkan pada Sunnah Rasulullah dan para sahabat. Pada abad ini muncullah Imam al-Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah serta tujuan asketisme (zuhd), kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali-lah yang berhasil memancangkanprinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring  dengan aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Bustami, terutama mengenai soal karakter manusia.[6]
Tasawuf pada abad kelima Hijriyah cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya ke landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qusyairi  dan Al-Harawi dipandang sebagai tokoh sufi yang paling menonjol pada abad ini yang memberi bentuk tasawuf sunni. Kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah memperlihatkan dengan jelas bagaimana Al-Qusyairi mengembalikan tasawuf ke atasan landasan doktrin Ahlussunnah. Dalam penilainnya, ia menegaskan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina prinsip-prinsip tasawuf atasalandasan-landasan tauhid kaum salaf maupun Ahlussunnah yang menakjubkan. Al-Qusyairi secara implinsit menolak para sufi yang mengajarkan syahadat, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan khususnya sifat baharunya.
Tokoh lainnya yang seirama dengan Al-Qusyairi adalah Abu Isma’il Al-Anshari, yang sering disebut dengan Al-Harawi. Ia mendsarkan tasawufnya pada doktrin Ahlussunnah. Ia bahkan dipandang sebagai penggagas aliran pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya seperti Abu Yazid Al-Bustami dan Al-Hallaj.
Dengan demikian, abad kelima Hijriyah merupakan tonggak yang menentukan bagi kejayaan tasawuf salafi (akhlak). Pada abad tersebut, tasawuf salafi tersebar luas di kalangan dunia Islam. Fondasinya begitu dalam terpancang untuk jangka lama pada berbagai lapisan masyarakat Islam.[7]

B.      Corak dan karakteristik Tasawuf Abad V Hijriyah

Tasawuf yang berkembang pasda abad V yang disebut juga dengan tasawuf Sunni atau tasawuf Ahlaqi. Tasawuf akhlaqi memiliki corak dan karakteristik sebagai berikut :
1.      Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tasawuf jenis ini, dalam mengejawantahkan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan Qur’ani dan Hadis sebagai kerangka pendekatannya. Mereka tidak mau menerjunkan pahamnya dalam konteks yang berada di luar pembahasan Al-Qur’an danHadis. Al-Qur’an dan Hadis yang mereka pahami, kalaupun harus ada penafsiran. Maka penafsiran itu sifatnya hanya sekedarnya dan tidak begitu mendalam.
2.      Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada uangkapan-ungkapan syahadat.
3.      Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksutkan di sini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berada diantara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dengan Tuhan.
4.      Kesinambungan antara hakikat dengan syariat. Dalam pengertian lebih khusus, keterkaitan antara tasawuf sebagai aspek batiniyah dengan fiqh sebagai aspek lahirnya. Kaum sufi dari kalangan Sunni tetap memandang penting persoalan-persoalan lahiriah-formal, seperti aturan-aturan yang dianut fuqaha. Aturan-aturan itu bahkan sering dianggap sebagai jembatan untuk berhubungan dengan Tuhan.
5.      Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.[8]
Sedangkan  tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang ajaran – ajarannya
memadukan antara visi mistik dan visi rasional sebagai pengasasnya. Ibnu Khaldun dalam karyanya Al-Muqaddimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, antara lain :
1.      Latihan rohaniah dengan rasa, instiusi serta intropeksi diri yang timbul darinya.
2.      Iluminasi atau hakekat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat – sifat rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat dll.
3.      Peristiwa – peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
4.      Penciptaan ungkapan – ungkapan yang pengertiannya sepintas samar – samar (syatahiyyat).[9]

C.       Tasawuf al-Qusyairy ( 376 – 465 H )

a.      Biografi Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin, lahir tahun 376 H. Di Istiwa, kawasan Nishafur, salah atu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah ia bertemu dengan gurunya Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu menghadiri majelis gurunya, dan dari gurunya itulah  Al-Qusyairi menempuh jalan tasawuf. Sang guru pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu, Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqh dari seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi, dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr Al-Farauk. Menurut Ibnu Khallikan, Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu mengompromikan syariat dengan hakikat.[10]
b.      Ajaran-ajaran Tasawuf
1.      Mengembalikan tasawuf ke landasan Ahlussunnah
Seandainya karya Al-Qusairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam akan tampak al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah, sebagaimana pernyataan, “Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah mereka dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu sunnah, yang tidak tertandingi serta tidak kenal macet. Merekapun tahu hak yang lama dan bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu tokoh aliran ini al-Junaid, berkata; Tauhid adalah pemisah hal yang lama dari hal yang baru. Landasan doktrin mereka didasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan ini seperti dikatakan Abu Muhammad al-Jariri: Barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang kehancurannya.[11]
Ungkapan Al-Qusyairi yang mengkritik para sufi syathahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan dengan sifat-sifat kemanusian dengan kritikan pedas yaitu “Mereka mengatakan bahwa mereka telah bebas dari perbudakan berbagai belenggu dan berhasil mencapai realitas-realitas rasa penyatuan dengan Tuhan (wushul) lebih jauh lagi mereka tegak bersama yang Maha Besar, yang hukum-hukumnya berlaku atas diri sendiri, sedang mereka dalam keadaan fana. Allah pun menurut mereka tidak mencela dan melarang apa yang mereka nyatakan ataupun yang mereka lakukan. Dan kepadaku mereka disingkapkan rahasia ke-Esaan dan setelah fana merekapun tetap memperoleh cahaya Ketuhanan, tempat bergantung segala sesuatu”.[12]
2.      Kesehatan Batin
Selain itu Al-Qusyairi menekankan bahwa kesehatan bathin dengan berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As sunnah sebagai mana perkataannya:
Duhai saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada sufi sejamannya) sebab ketika reutas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian….. Setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun sikap menjauhkan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri dan setiap bathin yang bertentangan dengan lahir adalah keliru dan bukannya yang bathin,…… dan setiap tauhid yang dibenarkan Al-Qur'an maupun as-sunnah adalah pengingkaran terhadap Tuhan dan bukan tauhid; dan setiap pengenalan terhadap Allah yang tidak dibarengi kerendahan maupun ketulusan jiwa adalah palsu dan bukan pengenalan terhadap Allah.”[13]
3.      Penyimpangan Para Sufi
Dalam hal yang berbeda, Al-Qusyairi mengemukakan suatu penyimpangan lain dari para sufi abad ke lima hijriyah dengan ungkapan yang pedas.
Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal di kelompok tersebut kecuali bekas-bekas mereka kemah dan hanya serupa kemah mereka, kaum wanitanya itu, kulihat bukan mereka. Zaman telah berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka, tidak banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah kini kerendahatian dan punahlah kesederhanaan hidup. Ketamakan semakin menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah sudah kehormatan agama dari kalbu. Betapa sedikit orang yang berpegang teguh pada agama. Banyak orang yang menolak membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan sikap menghormati orang lain dan membuang jauh rasa malu. Bahkan mereka menganggap remeh pelaksanaan ibadah, melecehkan puasa dan sholat, dan terbuai dalam medan kemabukan dan jatuh dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak peduli melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan....”[14]
Pendapat Al-Qusyairi di atas barangkali terlalu berlebihan. Namun apapun masalahnya, paling tidak, bahwa itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi moral-moral dan tingkah laku.
Dalam hal ini, jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang berafiliasi pada aliran yang sama, yaitu Al-Asyi’ariyah, yang nanti akan merujuk pada gagasannya itu serta menempuh jalan yang dilalui  Al-Muhasibi maupun Al-Junaid, serta melancarkan kritik keras terhadap para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang ganjil.[15]

D.      Tasawuf al-Ghazali ( 450 – 505 H )

Di sebut Masa Konsolidasi karena abad 5 H terjadi pertentangan antara tasawuf  semi falsafi dan tasawuf Suni. Dimenangkan tasawuf sunni, tasawuf falsafi tenggelam kemudian muncul lagi abad 6H.Tasawuf Al Ghazali yang berdasarkan  ahlu sunnah wal jamaah demikian populernya  sehingga memperngaruhi  filosof islam Syiah, ikhwanu sofa dsb. Ajaran tasawuf al Ghazali ini mengutamakan pendidikan moral (tasawuf akhlaki) hal ini dapat disimak dalam kitab ihya ulumuddin.
a.      Biografi singkat
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad  bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H./1058 M, tiga tahun setelah Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.[16]
Seorang filosof, teolog, ahli hukum dan  Sufi. Al Ghazali adalah arsitek perkembangan Islam di masa belakangan. Kitab karangan beliau banyak populer di Indonesia, diantaranya adalah : Ihya Ulum al Din ( Menghidupkan kembali ilmu-ilmu Agama), Al Munqid min Al Dzalal (Penyelamat dari kesesatan), karya beliau lebih dari 70 kitab. Dalam kitab Tahafut al Falasifah  (Sanggahan terhadap pemikiran kaum filsosof), Ghazali menyangkal filosof yang mendasarkan pada pemikiran pribadi dalam rangka menjelaskan kebenaran, dan ia berusaha mengembalikan filsafat dalam koridor teologi. Sepeninggal Al Ghazali perselisihan pandangan semenjak wafat Nabi Muhammad SAW agak berkurang, menjadi kesatuan atas dasar keberagaman.[17]

b.      Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.[18]
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat karena dianggapnya mempunyai duakelemahan. Pertama, kurang memerhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Kedua, syathahat merupakan hasil pemikiran  yang kacau dan hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian, ia menolak tasawuf semi filsafat meskipun ia mau memaafkan Alk-Hallaj dan Yazid Al-Bustami. Ungkapan-ungkapan yang ganjil itu telah menyebabkan orang-orang Nasrani keliru dalam menilai Tuhannya, seakan-akan Ia berada pada diri Al-Masih.[19]
1.      Makrifat
Al-Ghazali sama sekali menolak paham Hulul dan Ittihad. Untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat. Yakni, pendekatan diri kepada Allah tanpa diikutipenyatuan dengan-Nya. Jalan ma’rifat adalah adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil nebdiskripsikan jalan menuju Allah.SWT. Ma’rifat menurut  versi Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian dalam tingkatan-tingkatan ( maqamat ) dan keadaan ( ahwal ).
Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah orang yang mampu memadukan diantara ketiga kubu keilmuan Islam, takni tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam yang sebelumnya terjadi ketegangan diantara ketiganya.[20]
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sirr, qolb dan roh. Pada saat sirr, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.[21]

2.      As-Sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatan qalb sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati. Sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Sebab qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.[22]



















 

Penutup

Kesimpulan

Tasawuf pada abad V disebut juga tasawuf sunni. Disebut demikian karena tasawuf ini didasarkan pada Sunnah Rasulullah dan para sahabat. Pada abad ini muncullah Imam al-Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah serta tujuan asketisme (zuhd), kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali-lah yang berhasil memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring  dengan aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Bustami, terutama mengenai soal karakter manusia.
Al-Ghazali, Seorang filosof, teolog, ahli hukum dan  Sufi. Al Ghazali adalah arsitek perkembangan Islam di masa belakangan. Kitab karangan beliau banyak populer di Indonesia, diantaranya adalah : Ihya Ulum al Din ( Menghidupkan kembali ilmu-ilmu Agama), Al Munqid min Al Dzalal (Penyelamat dari kesesatan), karya beliau lebih dari 70 kitab. Dalam kitab Tahafut al Falasifah  (Sanggahan terhadap pemikiran kaum filsosof), Ghazali menyangkal filosof yang mendasarkan pada pemikiran pribadi dalam rangka menjelaskan kebenaran, dan ia berusaha mengembalikan filsafat dalam koridor teologi. Sepeninggal Al Ghazali perselisihan pandangan semenjak wafat Nabi Muhammad SAW agak berkurang, menjadi kesatuan atas dasar keberagaman.
Corak dan karakteristik Tasawuf Abad V Hijriyah: Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada uangkapan-ungkapan syahadat, lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia, Kesinambungan antara hakikat dengan syariat, Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.





Daftar pustaka



Sholikin dan Anwar Rosihon. 2008. Ilmu tasawuf:Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS. Bandung : CV.Pustaka Setia.
www.eksistensi-manusia-dalam-perspektif-tasawuf.com 18 Nop 2011




[1] Sholikin dan Anwar Rosihon. Ilmu tasawuf:Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN dan PTAIS. ( Bandung : CV.Pustaka Setia,2008), hal. 62.
[2] Ibid. Hal,62.
[3] Ibid. Hal,62-64.
[5] Ibid.hal,61.
[6] Sholikin dan Anwar Rosihon. Op. Cit. Hal,65-66.
[7] Ibid. Hal, 66.
[8] Ibid. Hal, 120-122.
[10] Ibid. Hal, 130-131.
[11] Ibid. Hal, 131-132.
[12] Ibid. Hal, 132
[13] Ibid. Hal, 133.
[14] Ibid. Hal, 133-134.
[15] Ibid. Hal, 135.
[16]  Ibid. Hal, 135.
[18] Sholikin dan Anwar Rosihon. Op. Cit. Hal,140.
[19]Ibid. Hal,141.
[20]  Ibid. Hal, 142.
[22] Sholikin dan Anwar Rosihon. Op. Cit. Hal  ha, 143.